Artikel

Edukasi Tsunami Melalui Museum Tsunami Aceh

Edukasi Tsunami Melalui Museum Tsunami Aceh

Penulis: Romanti

26 Desember 2004, sebuah bencana besar melanda sebagian besar Aceh. Gelombang tsunami lebih dari 30 meter yang menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang adalah salah satu bencana terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Untuk memperingati kejadian, dan mengambil hikmah serta pelajaran agar dapat bersiaga menghadapi kejadian serupa, Museum Tsunami didirikan di Kota Banda Aceh, salah satu wilayah yang paling terdampak dari bencana. Museum ini dibangun atas inisiatif dari sejumlah lembaga, antara lain Pemerintah Propinsi NAD, Pemerintah Kota Banda Aceh, Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, Kementerian ESDM dan Ikatan Arsitek Indonesia.

Ridwan Kamil merancang bangunan museum dengan inspirasi dari Rumoh Aceh, rumah panggung tradisional dari Aceh.

Bangunan museum didesain oleh M. Ridwan Kamil, arsitek Indonesia yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.  Desain “Rumoh Aceh Escape Hill” yang diusungnya untuk museum memenangkan sayembara lomba desain museum tsunami Aceh tahun 2007 lalu, menyisihkan 68 pesaingnya.

Berdiri di atas tanah seluas 10.000 meter persegi, desain museum ini mengambil ide dasar Rumoh Aceh, rumah tradisional orang Aceh yang merupakan rumah panggung. Lantai pertama museum merupakan ruang terbuka sebagaimana rumah tradisional Aceh, disebut perancang sebagai escape hill, sebuah taman berbentuk bukit yang dapat dijadikan sebagai salah satu antisipasi lokasi penyelamatan seandainya terjadi banjir atau tsunami di masa yang akan datang. Unsur tradisional lain tampak pada pola fasad bangunan yang menggambarkan tarian Saman.

Memasuki museum, penulis mengawali perjalanan dengan melalui lorong sempit gelap gulita. Sepanjang lorong, penulis mendengar suara air bergemuruh, kadang pelan, kadang semakin kencang. Kemudian terdengar pula lantunan zikir. Suara-suara tersebut membuat penulis bergidik, dan membayangkan kengerian suasana tsunami 2004 lalu.

Lepas dari lorong, penulis mendapati ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya ke atas sebuah lubang dengan tulisan arab “Allah” dengan dinding sumur dipenuhi nama para korban. Tampilan interior museum ini merupakan tunnel of sorrow yang dimaksudkan perancangnya untuk menggiring pengunjung merenung atas musibah dahsyat yang diderita warga Aceh sekaligus kepasrahan dan pengakuan atas kekuatan dan kekuasaan Allah dalam mengatasi sesuatu.

Setelah ruangan tersebut, penulis menuju lantai 2 namun tidak melalui tangga, melainkan melalui jembatan menanjak yang kembali terinspirasi dari jembatan di rumoh Aceh, berisikan bendera-bendera negara-negara donatur yang ikut mendukung pembangunan museum.

Museum Tsunami menyimpan sekitar 6.038 koleksi yang terdiri dari yaitu koleksi etnografika, arkelogika, biologika, teknologika, keramonologika, seni rupa, numismatika dan heraldika, geologika, filologika, serta historika dan ruang audio visual.

Koleksi ini tidak dipamerkan secara serentak, ada beberapa yang nantinya diadakan dalam pameran temporer. Pengelola museum merotasi koleksi setiap enam bulan sekali. Dalam satu pameran, terdapat sekitar 1.300 koleksi yang tersebar di tiga titik, yaitu rumoh Aceh, pameran temporer, dan ruang pameran tetap.

Saat mengunjungi Museum, penulis juga melihat foto-foto dari bencana tsunami di Jepang yang sedang dipamerkan di sana. Penulis juga berkesempatan menonton video dokumenter dan edukasi yang mengajarkan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi tsunami, sehingga bisa meminimalisir kerugian dan korban jiwa. Video edukasi ini dibuat berangkat dari kesadaran bencana alam seperti tsunami pasti berulang sesuai siklusnya, dan tidak dapat dicegah. Namun, dengan persiapan yang memadai, masyarakat bisa menghindari dampak terburuk dari tsunami dan menyelematkan dirinya.

Edukasi lain didapat dari ruang pameran hewan. Di ruang ini, kita ditunjukkan bahwa hewan memiliki insting yang dapat memprediksi datangnya bencana. Salah satunya dari jenis ikan tertentu yang ‘terbang’ dan terdampar di pinggir pantai, yang menandakan pergerakan besar sedang terjadi di dasar laut.

Untuk masuk Museum Tsunami Aceh memungut biaya sama yang nantinya menjadi Pendapat Asli Daerah (PAD). Harga tiket untuk anak anak, pelajar, dan mahasiswa sebesar Rp3.000, Rp5.000 untuk umum dan orang dewasa, dan Rp15.000 untuk turis mancanegara/asing. Museum beroperasi setiap hari (kecuali Jumat) mulai dari pukul 09.00-16.00 WIB.