Berita

Isu Ketahanan Pangan Jadi Pembahasan Menarik dalam Konferensi PKN 2020

Isu Ketahanan Pangan Jadi Pembahasan Menarik dalam Konferensi PKN 2020

Penulis:
Founder Javara Indonesia Helianti Hilman menjadi salah satu narasumber di Konferensi Ketahanan Pangan PKN 2020, Selasa (24/11/2020)

     Jakarta, (Itjen Kemdikbud) – Menjadi negara yang dilimpahi keanekaragaman ekologis, rupanya bertolak bekalakang dengan realita yang ada pada saat ini. Pangan yang seharusnya menjadi penyambung nyawa bangsa, rupanya belum menyentuh keseluruhan warga Indonesia itu sendiri. Hal ini menjadi pembahasan menarik dalam Konferensi Ketahanan Pangan, Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2020 yang disiarkan secara virtual melalui kanal YouTube ‘Budaya Saya’, pada Selasa (24/11/2020).

     Founder Javara Indonesia Helianti Hilman mengungkapkan bahwa alam Indonesia sesungguhnya menyediakan sumber daya makanan yang berlimpah, namun disayangkan menurutnya sistem pangan berbasis kearifan lokal sudah tercabut oleh kebijakan dan sistem pasar.

     “Sistem pangan budaya nusantara sudah tercabut oleh kebijakan dan sistem pasar, sehingga membuat kita kehilangan kedaulatan pangan kita. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa kita masih bergelut dengan isu ketahanan pangan, padahal alam kita ini sudah menyediakan semuanya,” ungkapnya saat menjadi narasumber dalam konferensi virtual tersebut.

      Sebab itu, Helianti menambahkan perlu adanya rebranding dari warisan pangan budaya nusantara untuk menjawab permasalahan tersebut. “Caranya adalah mengombinasikan warisan pangan serta kearifan lokal dengan inovasi dan entrepreneurship,” terangnya.

     Senada dengan Helianti, Co-Founder Bakudapan Eliesta Handitya juga ikut menyampaikan pendapatnya. Menurutnya, keberadaan pangan yang ada di pasar saat ini merupakan bentuk kontruksi dari pasar. Padahal banyak tanaman di Indonesia yang bisa menjadi kesempatan untuk menjadi alternatif ketahanan pangan. “tidak hanya beras, tetapi tanaman gulma juga punya kans untuk menjadi sumber bahan pangan kita,” jelasnya.

    Namun disayangkan, kata Eliesta, keberadaan pangan lokal kerap kali tidak mendapatkan tempat. Hal ini disebabkan, karena budaya masayrakat Indonesia saat ini hanya mengonsumsi apa yang sudah disediakan oleh pasar.

    “Padahal jika kita membuka mata dan mau belajar tentang ketersediaan pangan kita yang sebetulnya melimpah ini bisa menambah pengetahuan kita tentang pangan lokal itu jadi lebih banyak. Sehingga kita tidak serta-merta menyebutkan tanaman-tanaman seperti akar kucing, sintrong, semanggi itu sebagai tanaman liar,” ungkapnya.
(AGR)