Berita

Kearifan Lokal VS Krisis Iklim dalam PKN 2020

Kearifan Lokal VS Krisis Iklim dalam PKN 2020

Penulis:
Thanya Ponggawa dari Waterhouse Project menjelaskan tentang kesulitan penduduk Desa Napu, Sumba, NTT untuk pergi ke sumber air. (Tangkap layar: Youtube Budaya Saya)

Jakarta (Itjen Kemendikbud) – Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) mengadakan konferensi yang bertema “Tutur, Kultur, dan Luhur” pada Senin (23/11/2020) melalui laman pkn.id. Salah satu isu yang diangkat adalah tentang kearifan lokal vs krisis iklim. Panitia menghadirkan 3 narasumber, yaitu Nilla Patty dari Zero Waste ID, Thanya Ponggawa dari Waterhouse Project, dan David Christian sebagai Co-Founder EvoWare.

Konferensi ini diadakan sebagai bentuk kepedulian terhadap perubahan iklim yang semakin ekstrim. Penggunaan energi fosil yang terus-menerus, efek rumah kaca, dan sampah yang menumpuk merupakan segelintir penyebab perubahan iklim.

“Bumi ini sudah ada sejak 4,5 miliar tahun yang lalu, sedangkan manusia baru ada sejak 500 ribu – 600 ribu tahun yang lalu. Ini berarti manusia baru hidup selama 3 detik selama bumi itu ada. Namun, 3 detik itu telah memberikan dampak yang besar bagi bumi, terlebih banyak dampak negatif yang diberikan,” ujar David Christian.

Perubahan iklim ini membuat air laut menjadi naik dan terdapat krisis air di beberapa wilayah di bumi, Salah satunya terjadi di Indonesia. Thanya Ponggawa mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan sumber daya air yang terbilang melimpah, tetapi masih ada daerah yang sulit menemukan sumber air bersih. Desa Napu di Sumba, Nusa Tenggara Timur adalah salah satu contohnya. Penduduk harus berjalan selama 1 jam lamanya untuk menuju sumber air.

Thanya juga menjelaskan proses Waterhouse Project membangun sumber air bagi masyarakat desa tersebut dan dampaknya setelah sumber air itu dibuat.

“Dengan mendekatkan air bersih, kita tidak hanya memiliki dampak kebersihan atau kesehatan, tetapi juga meningkatkan gizi, perekonomian, dan pendapatan mereka (masyarakat Desa Napu),” jelasnya.

Di lain sisi, konferensi ini dapat membuka mata bagi yang menonton tentang bagaimana budaya leluhur Indonesia juga memperhatikan alam.

Nilla menjelaskan bahwa budaya Indonesia adalah budaya pakai ulang dan sangat menghormati alam.

“Budaya Indonesia benar-benar menghormati alam, air tidak boleh tercemar dan kita harus menjaga alam. Di bagian Timur Indonesia ada budaya Sasi untuk menjaga alam dan membuat alam memiliki waktu untuk recover. Zero waste memang bahasa Inggris. Namun dilihat dari budaya leluhur, Zero Waste ID adalah Indonesia banget,” jelasnya.

Nilla juga menjelaskan langkah mudah memulai zero waste, yaitu dengan menemukan tujuan, audit sampah; mulai dengan 1 hal; implementasi 6 R (rethink, refuse, reuse, reduce, rot, dan recycle); dan mengajak teman/keluarga untuk mengikuti zero waste. – FBL