Kesultanan Peureulak, Kerajaan Corak Islam Pertama di Indonesia yang Kerap Terlupakan
November 17, 2023 2023-11-17 13:55Kesultanan Peureulak, Kerajaan Corak Islam Pertama di Indonesia yang Kerap Terlupakan
Indonesia yang kaya akan warisan sejarahnya, menyimpan beberapa bab yang sering terlupakan dari masa lalu. Salah satu bab itu adalah Kesultanan Peureulak atau disebut juga Kesultanan Perlak. Merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, kesultanan ini memerintah wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh, dari sekitar tahun 840 hingga 1292. Buku pelajaran sejarah Indonesia mencatat kerajaan bercorak islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, sehingga banyak yang tidak menyadari kehadiran Kesultanan Peureulak. Beberapa kemungkinan yang menjadi alasan kerajaan ini terlupakan yaitu besarnya nama kerajaan lain di daerah yang sama, terutama Samudera Pasai; pendiri kesultanan yang bukan merupakan warga asli Aceh saat itu melainkan pendatang dari jazirah Arab; dan alasan kuat lain adalah kesultanan ini pada akhirnya bergabung dengan Samudera Pasai sehingga babak sebelum bersatunya mereka dianggap sebagai awal sejarah kerajaan tersebut.
Latar Belakang Kesultanan Peureulak
Kesultanan Peureulak, atau dikenal juga sebagai Kesultanan Perlak, memainkan peran penting dalam pengembangan dan penyebaran Islam di wilayah utara Sumatra. Didirikan pada tahun 840, kesultanan ini memiliki ibu kota di Pureulak dan menggunakan bahasa Aceh dan Melayu sebagai sarana komunikasi. Dengan pemerintahan berbasis monarki, kesultanan ini dipimpin oleh sejumlah sultan terkemuka, antara lain Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah dan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat. Pendiri kesultanan ini, Sultan Alaiddin Syed Maulana adalah keturunan Nabi Muhammad SAW baik dari pihak ayah maupun pihak ibu dan mempersunting istri dari kalangan masyarakat Aceh.
Pusat Perdagangan dan Pengaruh Islam
Kesultanan Perlak mendapat pengakuan karena wilayahnya yang kaya akan kayu perlak, bahan baku yang sangat berharga untuk pembuatan kapal. Daerah ini dikenal dengan sebutan “Negeri Perlak” dan berkembang menjadi pelabuhan niaga maju pada abad ke-8. Kapal-kapal dari Arab dan Persia bersinggungan di pelabuhan ini, memfasilitasi pertukaran budaya dan memperkuat penyebaran Islam, terutama melalui pernikahan campur antara pedagang Muslim dengan penduduk setempat.
Geografi Kerajaan Peureulak
Peureulak memiliki posisi strategis di Selat Malaka, jalur perdagangan utama Nusantara. Sebelum Kesultanan Malaka berdiri, perdagangan melalui Selat Malaka melewati pantai barat Sumatra. Kota pelabuhan utama pada saat itu adalah Melayu, yang terletak di muara Sungai Batanghari, Jambi. Hal ini memungkinkan ajaran agama baru, termasuk Islam, masuk ke wilayah Nusantara.
Peran Peureulak dalam Perdagangan Internasional
Sumatera, dengan kekayaan lada sebagai produk unggulannya, ikut meramaikan perdagangan internasional di Selat Malaka. Aceh, sebagai penghasil lada utama, memainkan peran penting dalam perdagangan ini. Peureulak berkembang menjadi kota perdagangan internasional yang disinggahi pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk pedagang Muslim. Bandar Perlak menjadi pusat utama perdagangan di pantai timur Sumatra bagian utara.
Pergolakan dan Perlawanan Terhadap Sriwijaya
Kisah kesultanan ini tidak lepas dari pergolakan dan perang melawan Kedatuan Sriwijaya pada tahun 986 M. Sultan Peureulak Pesisir, Sultan Alaiddin Syad Maulana Mahmud Syah, gugur dalam perang melawan Sriwijaya. Namun, Peureulak Pedalaman, yang dipimpin oleh Sultan Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat, berhasil membalikkan keadaan dan memenangkan perang.
Pertempuran berkepanjangan ini berakhir pada tahun 1006 M, ketika Sriwijaya memutuskan mundur dari pertempuran untuk menghadapi ancaman raja Dharmawangsa dari Kerajaan Medang di Jawa. Dengan kemenangan ini, Kesultanan Peureulak memperkuat posisinya dan wilayahnya bersatu di bawah kepemimpinan Sultan Malik Ibrahim Syah.
Peninggalan dan Akhir Kesultanan Peureulak
Setelah mengalami berbagai pergolakan dan pertempuran, Kesultanan Peureulak mengakhiri sejarahnya ketika bergabung dengan Samudera Pasai pada tahun 1292. Meskipun begitu, peran Peureulak dalam penyebaran Islam dan perdagangan internasional telah meninggalkan jejak sejarah yang tak terhapuskan.
Sayangnya, kesultanan ini sering terlupakan dalam narasi dan buku sejarah Indonesia. Namun, seiring dengan upaya pelestarian sejarah dan budaya, semoga warisan gemilang Kesultanan Peureulak dapat terus dihargai dan dikenang sebagai bagian penting dari kekayaan sejarah Nusantara.