Artikel

Mengenal Meugang, Tradisi Aceh Sambut Ramadan dan Hari Raya

Mengenal Meugang, Tradisi Aceh Sambut Ramadan dan Hari Raya

Penulis: Romanti
Ilustrasi makanan saat Meugang.

Aceh, tanah yang kaya akan sejarah dan tradisi, menyimpan beragam keunikan budaya yang menjadikannya salah satu destinasi yang menarik untuk dieksplorasi. Di antara kekayaan budaya yang dimilikinya, terdapat sebuah tradisi dalam menyambut Ramadan dan Hari Raya, yang bernama  Meugang atau Makmeugang. Tradisi ini telah menghiasi kehidupan masyarakat Aceh sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam. Tradisi ini sangat penting bagi Masyarakat Aceh, bahkan mereka rela mengambil jeda dari pekerjaan atau menutup tokonya untuk dapat ikut serta dalam pelaksanaan Meugang.  Tahun ini, penulis yang sedang tinggal di provinsi yang dijuluki “serambi mekah” ini berkesempatan mengikuti tradisi ini mulai dari mendapat pembagian daging hingga makan bersama dengan masyarakat. Seperti apa pelaksanaan Meugang dan bagaimana sejarahnya? Dalam artikel ini, penulis akan mengurai segala hal tentang tradisi ini, dan bagaimana hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh dalam menyambut bulan suci Ramadan.

Mengenal Meugang: Tradisi Aceh Menyambut Bulan Suci Ramadhan

Tradisi Meugang, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, adalah warisan budaya yang telah mengakar sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1607 di bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda. Meugang adalah ritual memasak dan menikmati daging bersama keluarga, kerabat, dan yatim piatu sehari sebelum bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Pelaksanaan Meugang lazim dilakukan satu hari sebelum ketiga momen penting bagi umat muslim tersebut, namun pada kota-kota besar, pelaksanaannya bisa lebih panjang yaitu dua hari berturut-turut sebelum hari yang dinanti.

Pada hari pelaksanaan Meugang, masyarakat yang mampu akan menyumbangkan sapi untuk disembelih, baik secara pribadi ataupun bergotong-royong. Daging tadi akan dibagikan ke masyarakat, terutama warga tidak mampu dan tetangga sekitar. Saat pelaksanaan pembagian daging, tidak jarang panitia Meugang juga menyajikan makanan untuk dimakan bersama sembari menunggu antrian pembagian daging.

Daging yang sudah didapatkan masyarakat nantinya akan diolah, untuk dimakan bersama keluarga, keluarga besar, ataupun dibawa ke Masjid dan dimakan bersama-sama tetangga. Seluruh proses mulai dari pembagian daging, memasak daging bersama-sama, dan makan daging bersama-sama inilah yang menjadi salah satu nilai inti Meugang, di mana membuat kerabat dan tetangga sekitar berinteraksi dan bersilaturahmi, sehingga mengeratkan nilai kekeluargaan di antara mereka.

Daging untuk dimasak saat perayaan Meugang tidak hanya berasal dari daging yang dibagikan, namun juga dari daging yang dibeli sendiri oleh Masyarakat. Karena itu, jelang perayaan Meugang akan terlihat banyak penjual daging dan bumbu dadakan di sekitar pasar Aceh. Adapun masakan yang di masak untuk perayaan Meugang umumnya masakan tradisional khas Aceh seperti kari, Sie Reboh (daging rebus), gulai, semur, dan beragam masakan lainnya.

Daging untuk perayaan Meugang seringkali identik dengan daging sapi, namun tidak menutup kemungkinan untuk memasak daging kambing, bebek, dan ayam juga untuk perayaan tradisi ini,

Sejarah Meugang

Tradisi Meugang tidak hanya sekadar kegiatan menyantap daging, tetapi juga memiliki makna religius yang dalam. Pada masa keemasan Kesultanan Aceh, Sultan Iskandar Muda memerintahkan penyembelihan hewan ternak dalam jumlah besar sebagai ungkapan syukur atas kemakmuran yang diberikan kepada rakyatnya. Daging hasil penyembelihan kemudian dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyat, termasuk yatim piatu dan kaum dhuafa.

Selama masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, tradisi Meugang tidak hanya melibatkan pembagian daging kepada masyarakat yang kurang mampu, tetapi juga menyertakan distribusi sembako dan kain. Sejarawan Aceh, Tarmizi Abdul Hamid yang dikenal sebagai Cek Midi, mengungkapkan bahwa tradisi Meugang telah berlangsung selama 400 tahun lamanya, berakar dari era Kesultanan Aceh pada masa tersebut. Menurutnya, dalam literatur buku “Singa Aceh” oleh H.M. Zainuddin, disebutkan bahwa sultan pada masa itu sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, termasuk mereka yang berada dalam kondisi kurang mampu. Tanggung jawab untuk membantu orang-orang yang tidak mampu pada masa itu menjadi prioritas sultan, yang kemudian diwujudkan dalam satu qanun atau hukum yang mengatur pelaksanaan Meugang. Qanun tersebut, yang dikenal dengan nama “Meukuta Alam”, mengatur mengenai tugas Qadi Mua’zzam Khazanah Balai Silatur Rahmi dalam mengambil dirham, kain, serta hewan ternak seperti kerbau dan sapi yang akan disembelih pada hari Meugang. Daging dari hewan-hewan tersebut kemudian didistribusikan kepada fakir miskin, dhuafa, dan mereka yang berkebutuhan khusus sebagai bentuk perhatian dan kepedulian dari pemerintah Sultan Aceh.

Dalam buku lain, Profesor Ali Hasyimi berjudul “Kebudayaan Aceh dalam Sejarah”, Sultan membagikan daging untuk yatim dan duafa dalam jumlah besar. Seluruh biaya dikeluarkan ditanggung oleh bendahara istana. Sedangkan dalam buku “Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636)”

karya Denys Lombard, pada hari meugang, Sultan juga menzirahi makam sultan sebelumnya yang telah meninggal dunia.

Esensi dan Perayaan

Setiap tahun, Meugang di Aceh menjadi momen penting bagi setiap keluarga atau rumah tangga. Tradisi ini merupakan bagian dari kesiapan menyambut bulan suci Ramadan, di mana seluruh anggota keluarga berbondong-bondong memasak dan menikmati daging bersama. Tidak ada yang boleh melewatkan tradisi ini, karena Meugang memiliki nilai religius yang tinggi bagi masyarakat Aceh. Antusiasme masyarakat sesuai dengan pelaksanaan sunnah Nabi Muhammad SAW, di mana kita harus menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh suka cita. Tradisi ini juga merupakan bentuk rasa syukur pada Allah SWT yang telah memberikan rezeki selama 11 bulan  sebelumnya, dan dirayakan dalam bentuk makan bersama.

Daging Meugang yang dibagikan ke masyarakat umumnya dibagi rata tanpa melihat status penerima daging. Komposisi paket daging untuk keluarga donatur misalnya, akan sama dengan daging untuk keluarga dhuafa yang dibagikan. Jika keluarga donatur mendapat daging dicampur tulang dan jeroan, maka daging itu pula yang akan dibagikan ke keluarga lain.  Jumlah yang dibagikan pun sama. Hal ini menunjukkan sistem keadilan dan distribusi kesejahteraan, yang merupakan esensi lain dari tradisi ini selain dari mempererat kekeluargaan, menyambut bulan suci dengan penuh suka cita, dan mensyukuri rezeki yang telah diberikan.

Perkembangan

Meskipun tradisi Meugang memiliki akar yang dalam dalam sejarah Aceh, namun begitu melewati zaman kerajaan hingga masa penjajahan Belanda, tradisi ini tetap bertahan. Bahkan, pahlawan Aceh pada masa perjuangan kemerdekaan pun memanfaatkan Meugang sebagai sumber perbekalan dalam bergerilya. Tradisi Meugang masih dipertahankan hingga kini, bahkan telah diakui oleh Kemendikbudristek (yang saat itu masih bernama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sebagai warisan budaya tak benda sejak tahun 2016.

Meugang dalam Kehidupan Sehari-hari

Setiap pelaksanaan Meugang di Aceh juga ditandai dengan kemunculan pasar daging dadakan di pinggir jalan. Para pedagang daging berdiri berjejer di sepanjang jalan, menawarkan daging segar kepada pembeli. Harga daging mungkin sedikit lebih tinggi dari hari-hari biasa, tetapi hal ini tidak mengurangi semangat masyarakat Aceh untuk menyambut bulan suci Ramadan dengan penuh kebahagiaan dan kebersamaan.

Tradisi Meugang tidak hanya sekadar tradisi, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkokoh kebersamaan dan silaturahmi antarwarga. Dalam kesibukan keseharian, Meugang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu untuk berkumpul dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih.