Mengunjungi Huta Siallagan, Desa Adat Batak di Samosir yang Indah
Februari 7, 2023 2023-02-07 10:14Mengunjungi Huta Siallagan, Desa Adat Batak di Samosir yang Indah
Danau Toba merupakan salah satu danau terluas di dunia. Keindahan danau ini sudah terkenal tidak hanya di kalangan masyarakat Indonesia, namun juga mencapai wisatawan asing. Danau sangat luas dengan air kehijauan, dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, dan yang paling unik terdapat pulau di tengah-tengah danau. Pulau Samosir, nama Pulau tersebut. Tak hanya dikaruniai keindahan alam karena berada di tengah-tengah Danau Toba, pulau ini pun sarat dengan kekayaan budaya Batak, salah satu suku di Indonesia yang berasal dari wilayah Sumatera Utara.
Salah satu bukti kentalnya nuansa budaya Batak di Pulau ini bisa dilihat di Huta Siallagan, salah satu desa di daerah Ambarita, Pulau Samosir, yang menampakkan keaslian bangunan-bangunan adat dan juga pagelaran budaya Batak. Menurut pemandu wisata di desa ini, Huta artinya desa/kampung, dan Siallagan adalah nama marga raja pendiri desa tersebut. Marga pendiri huta disebut marga raja atau marga tano. Marga-marga lain yang juga tinggal di huta dinamakan marga boru. Siallagan sendiri adalah marga Batak Toba keturunan dari Raja Nai Ambaton yang mengikuti garis keturunan Raja Isumbaon, putra kedua Si Raja Batak.
Di Huta Siallagan, penulis melihat rumah-rumah adat berbaris, tanpa diberikan sekat ataupun pagar. Informasi yang penulis dapat, filosofis rumah tak berpagar adalah masyarakat yang tinggal dalam satu huta terikat bersama, tidak bersekat dan tidak berpisah, menjadi satu kesatuan. Dengan begitu, mereka saling membantu, saling menjaga, dan menyelesaikan masalah bersama.
Rumah adat yang ada di Huta Siallagan terdiri dari 3 jenis, yaitu Rumah Bolon, Rumah Siamporik, dan Rumah Sibola Tali. Rumah Bolon bentuknya lebih besar, tangga dari dalam dan dihuni oleh raja dan anaknya. Rumah Siamporik, bentuknya lebih kecil, tangga dari luar, dihuni oleh keluarga yang diundang tinggal di huta itu (boru, bere, dan marga siallagan yang bukan keturunan raja). Sedangkan rumah Sibola Tali bentuknya lebih langsing dan kecil, dihuni oleh kerabat raja (anak laki-laki), bedanya dengan rumah bolon adalah anak sulung laki-laki yang berhak tinggal dan memilikinya.
Salah satu ciri khas dan juga merupakan bangunan terkenal dari Huta ini, adalah adanya batu kursi atau batu persidangan dan batu parhapuran, dan dikelilingi tembok batu setinggi 1,5 meter. Batu persidangan ini merupakan tempat raja Siallagan zaman dahulu mengadili penjahat. Di samping kursi persidangan tumbuh pohon yang disebut sebagai pohon kebenaran, yang merupakan Pohon Hariara. Semua keputusan pengadilan yang diambil raja disampaikan atau disumpahkan ke pohon ini. (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kab. Samosir:2015:4)
Selain dari rumah dan batu persidangan, di dalam kompleks ini juga terdapat makam raja Siallagan dan keturunannya, beberapa makam masih terbuat dari batu, seperti masa megalitikum. Selain itu area eksekusi untuk menghukum penjahat yang sudah diadili, rumah untuk memasung penjahat, berbagai totem dari kayu, dan tidak ketinggalan boneka Sigale-gale.
Menurut pemandu, boneka Sigale-gale memiliki keunikan yaitu dapat menari bahkan mengeluarkan air mata dan dapat bergerak sendiri saat ritual tertentu. Ritual tersebut memiliki tujuan untuk memanggil arwah yang sudah meninggal. Karena memang tidak ada upacara pemanggilan arwah, maka penulis tidak bisa menyaksikan boneka ini bergerak sendiri.
Namun meski tidak bisa menonton pertunjukan boneka sigale-gale menari, pengunjung tetap bisa menonton pertunjukan tarian tor-tor, bahkan ikut Manortor (menari tor-tor). Dalam kompleks, disediakan pemandu tari yang akan mengajari dan memandu pengunjung untuk melakukan tarian. Tidak hanya itu, pengunjung bisa memakai topi dan selendang ulos, sehingga nuansa adat batak lebih terasa.
Melihat langsung rumah dan bangunan adat batak dan melakukan atau menonton tarian adat batak merupakan pengalaman yang sangat menarik yang penulis rasakan. Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Huta Siallagan, bersama dengan cagar budaya lainnya sudah semestinya kita lestarikan, agar anak cucu kita nanti masih dapat berkesempatan mengenal dan menikmati keindahan bangunan dan pertunjukan budaya khas di Indonesia.