Artikel

Pahami Gratifikasi ke Guru ASN Jelang Hari Raya

Pahami Gratifikasi ke Guru ASN Jelang Hari Raya

Penulis: Romanti
Desain ilustrasi: Romanti

Hari Raya Idulfitri perlahan mendekat. Beberapa orang sudah mulai mengirimkan hampers atau bingkisan lebaran kepada orang-orang terdekatnya. Di antara ramainya bertukar bingkisan, ada satu trend menghiasi media sosial dan menjadi viral, yaitu konten murid berbaris untuk memasukkan kue atau makanan lainnya ke dalam kardus, untuk nantinya diberikan pada guru. Banyak yang memuji konten-konten tersebut. Namun sejatinya, ada satu hal terlupa, yaitu menyadari bahwa pemberian hadiah kepada guru sebenarnya merupakan bentuk gratifikasi yang dilarang oleh hukum. Hal ini terutama bila pemberian diperuntukkan bagi guru Aparat Sipil Negara (ASN), yang mengabdi di sekolah negeri pula. Tentu banyak yang akan protes mendengar pernyataan barusan, dan menganggap suatu kewajaran bagi murid untuk menghargai jasa guru, salah satunya dengan pemberian bingkisan. Karena itu, masyarakat perlu mengetahui dengan jelas, apa itu gratifikasi, dan mengapa hal itu justru tidak baik bagi lingkungan pembelajaran yang membiarkan hal itu terjadi.
Sebelum membahas lebih lanjut, kita perlu memahami konsep gratifikasi itu sendiri. Menurut Pasal 12B dalam UU No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, gratifikasi mencakup segala bentuk pemberian, mulai dari uang, barang, diskon, komisi, tiket perjalanan, hingga fasilitas lainnya.
Gratifikasi pada guru, pernah dibahas spesifik dalam artikel yang dimuat di laman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220811-waspada-pemberian-hadiah-untuk-guru-adalah-gratifikasi. Dalam artikel tersebut, Sugiarto, seorang Fungsional Utama di Direktorat Gratifikasi dan Pelayanan Publik KPK, menjelaskan bahwa pemberian hadiah akan dianggap sebagai gratifikasi terlarang jika memenuhi dua unsur.
“Gratifikasi adalah segala bentuk pemberian yang dikecualikan, kecuali yang dilarang. Pemberian kepada guru masuk dalam kategori Pasal 12 B,” ungkap Sugiarto.
“Berkenaan dengan pasal tersebut, pemberian kepada guru memenuhi dua unsur gratifikasi, yaitu ‘berhubungan dengan jabatan’ dan ‘berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya’,” tambahnya.
“Berhubungan dengan jabatan” berarti bahwa hadiah diberikan kepada guru karena posisinya sebagai pengajar. Sedangkan “berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya” menunjukkan bahwa menerima hadiah merupakan pelanggaran terhadap etika guru yang seharusnya tidak menerima hadiah dari pihak yang dilayani.
“Pemberian hadiah ini dilarang karena pertama, guru telah digaji oleh negara untuk melakukan tugas mengajar. Kedua, memberi hadiah hanya kepada wali kelas tidak adil karena Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) melibatkan banyak staf sekolah,” jelas Sugiarto.
Dampak dari gratifikasi kepada guru mencakup terjadinya rasa cemburu di antara staf sekolah lainnya dan potensi terpengaruhnya sikap guru terhadap murid-muridnya. Selain itu, memberikan hadiah kepada guru dapat memberikan contoh buruk bagi anak-anak, mengurangi kebermaknaan ketaatan sekolah, dan menguji integritas guru dalam menegakkan prinsip-prinsip moral.
“Sebuah prinsip dalam pendidikan menyatakan bahwa satu teladan lebih berharga daripada seribu kata-kata. Dan satu gambar lebih bermakna daripada seribu kata,” pungkas Sugiarto.
Selanjutnya, perlu dipertimbangkan bagaimana orang tua seharusnya menyikapi masalah ini. Pertama-tama, orang tua perlu memahami bahwa memberikan hadiah kepada guru tidaklah diperlukan sebagai bentuk penghargaan atas pekerjaan mereka. Guru telah diberi gaji untuk melaksanakan tugas mengajar mereka, dan penghargaan yang sebenarnya dapat diberikan dalam bentuk apresiasi verbal, surat, atau bahkan partisipasi dalam kegiatan sekolah.
Selain itu, orang tua dapat berperan aktif dalam mendukung integritas guru dengan tidak mempraktikkan pemberian hadiah. Mereka dapat menyampaikan nilai-nilai etika yang benar kepada anak-anak mereka, bahwa memberikan hadiah kepada guru sebagai imbalan atas tugas mereka tidaklah pantas dan bertentangan dengan prinsip-prinsip moral.
Orang tua juga dapat berperan dalam mendukung keadilan di dalam lingkungan sekolah dengan memastikan bahwa penghargaan atau apresiasi yang diberikan tidak hanya ditujukan kepada guru kelas, tetapi juga kepada seluruh staf sekolah yang terlibat dalam proses pendidikan anak-anak.
Sebagai alternatif, orang tua dapat memilih untuk berkontribusi dalam bentuk lain yang lebih bermakna bagi sekolah, seperti menyumbangkan buku-buku atau peralatan yang dibutuhkan, atau terlibat dalam kegiatan sukarela di sekolah.

Selain itu, jika ada kekhawatiran tentang perilaku guru yang tidak etis terkait dengan penerimaan hadiah, orang tua dapat mengambil langkah untuk melaporkan masalah tersebut kepada pihak berwenang, seperti kepala sekolah atau lembaga pendidikan terkait.

Dengan demikian, orang tua memiliki peran yang penting dalam membentuk budaya yang berintegritas di sekolah dan mendukung nilai-nilai moral yang benar dalam pendidikan anak-anak mereka. Dengan menyikapi masalah ini secara bijaksana dan bertanggung jawab, kita dapat bersama-sama memastikan bahwa lingkungan pendidikan tetap menjadi tempat yang aman, adil, dan bermartabat bagi semua pihak yang terlibat.